Kamis, 19 April 2012

BIDADARI - BIDADARI SURGA


"KAU ada di Four Seasons Hotel, Miss Headstone. Kamar suite terbaik yang kami miliki.
Aku manajer hotel ini, ada yang bisa kubantu?"
Goughsky nyengir, menatap wajah lebam Yashinta. Wajah yang mulai sadar. Matanya
mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang? Seperti biasa, Si Mata
Biru nya yang duduk di sebelah lebih dulu mengendalikan situasi. Menjelaskan sambil
bergurau.

Yashinta berusaha duduk. Sakit. Semua bagian tubuhnya terasa sakit. Tapi ia bisa
beranjak duduk. Kaki kirinya di gips. Tulangnya ternyata hanya retak, tidak patah. Luka di
badannya sudah dikeringkan. Menyisakan gurat lebam membiru hampir di sekujur tubuh.
Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi.
Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal, helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang
sedang ada urusan bisnis di Indonesia juga tiba. Pasangan paruh baya itu kebetulan sedang
berada di sekitar Gunung Semeru. Berbaik hati mengirimkan helikopter. Jadi tubuh pingsan
Yashinta bisa segera dilarikan ke rumah sakit kota provinsi terdekat. Mendapatkan
pertolongan pertama.
"Kau sama sekali tidak terllhat cantik lagi, Miss Headstone." Goughsky nyengir amat lebar.
Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal.
Yashinta tidak menjawab.Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia
otomatis akan mendelik, menyahut ketus, pura-pura marah. Ia sedang membiasakan diri
menatap ruang rawatnya yang terang benderang. Matanya silau setelah pingsan dua puluh
jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di
luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang.

"Jam berapa sekarang?"
"05.30, masih sempat untuk shalat shubuh—"
Yashinta memejamkan mata. Mengangguk. Kepalanya masih terasa nyeri. Berusaha
mengingat kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru.
Kakinya yang menginjak batuan getas. Jatuh, Menghajar dahan-dahan. Entahlah.... ia lupa.
Yang Yashinta ingat ia justru sedang bermimpi setelah itu. Duduk seharian melihat anak
berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga
Kak Laisa menepuk bahunya. Mengajak pulang. Cahaya-cahaya itu. Ia yang siuman.
Tubuhnya yang terasa sakit. Kakinya yang patah. Mengigit bibir, berjuang untuk keluar dari
lembah tempat ia jatuh. Melangkah tertatih dengan bantuan dua tongkat kayu di tangan.
Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa?
"Kak Lais?" Yashinta menoleh ke Goughsky.
"Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak
Laisa baik-baik saja, Kau tahu, saat Profesor Dalimunte menelepon, tiga monster sibuk
menyela, sibuk berteriak kapan kau tiba. Mereka seperti lupa kalau Wawak mereka sedang
sakit keras."
Yashinta tertunduk, menghela nafas, sedih. Bagaimanalah? Dengan gips di kaki, dengan
tubuh lemah seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti menunggunya....
Kak Laisa yang selalu ada ketika ia butuh. Sekarang? Saat Kak Laisa sakit keras dan
membutuhkan adik-adiknya? Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan.
"Kau jangan menangis, Yash." Goughsky menelan ludah. Meski dia tipikal pemuda yang
suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan
ia dengan masa-masa yatimpiatu. Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini.
"Aku harus pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah—"
"Kau akan segera pulang, Yash. Pagi ini juga. Aku berjanji, paling lambat kita tiba di
Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap.
"Bagaimana? Bagaimana caranya?"
"Kalau Wawak sakit gini, nggak asyik! Kemarin nggak ada yang nemenin kita keliling
perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!"

Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki kanan Wak Laisa. Mengeluh.
"Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang
sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa.
"Wawak sakit apa sih? Sudah dua hari kok nggak sembuh-sembuh?" Delima bertanya,
menghentikan gerakan tangannya.
Laisa tersenyum. Berusaha memperbaiki duduknya. Cie Hui membantu, sekalian
membenahi posisi infus dan belalai plastik.
"Kalian jangan banyak tanya, napa. Kata dokter tadi, Wak Laisa nggak boleh banyak bicara
dulu." Intan yang duduk di samping Wak Laisa dengan tissue di tangan menyergah.
Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang.
"Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang nggak boleh!" Delima mendesis sebal dalam hati.
Persis sekali ulah Ikanuri dulu waktu kecil. Bersungut-sungut. Meneruskan mengurut kaki
Wak Laisa.
Mereka baru saja selesai shalat shubuh. Duduk berkeliling memenuhi kamar Kak Laisa.
Di luar semburat merah semakin terang. Embun menggantung di buah strawberry yang
memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka
yang sejak tadi sibuk protes.
"Kan kalau Wawak sehat, harusnya Wak Laisa bisa ngelanjutin cerita sebulan lalu." Itu
keluhan pertama Delima. Ia menunggu cerita-cerita itu.
"Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan
tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima.
Tidak mengerti soal kristal-kristal itu? Begini, kalian mencari tangkai rumput yang
lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di
daun. Jangan sampai pecah. Kemudian diletakkan di telapak tangan. Membuat lukisan
dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan
siapa yang paling indah.
Nah, karena sudah terlanjur menjelaskan bagian yang ini, kalian juga berhak tahu
jawaban bagaimana sebenamya Mamak mendidik anak-anaknya hingga menjadi begitu
cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat. Ahklak yang baik.
Tentu saja semua itu hasil dari proses yang baik. Tidak ada anak-anak di dunia yang
instant tumbuh seketika menjadi baik. Masa kanak-kanak adalah masa 'peniru'. Mereka
memperhatikan, menilai, lantas mengambil kesimpulan. Lingkungan, keluarga, dan sekitar
akan membentuk watak mereka. Celakalah, kalau proses 'meniru' itu keliru. Contoh yang
keliru. Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali.
Saat aku berkesempatan mampir di lembah indah mereka, saat bicara dengan Mamak
yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun (meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu
hal: bercerita. Mamak tidak bisa memberikan mekanisme pendidikan canggih selain
bercerita. Keluhan Delima pagi ini tentang kelanjutan cerita dari Wawaknya adalah warisan
mekanisme belajar Mamak tersebut.

Selepas shubuh, meski penat karena dua jam memasak gula aren di dapur, seusai shalat
bersama, mengaji bersama, Mamak akan menyempatkan diri lima belas menit hingga
setengah jam bercerita. Tentang Nabi-Nabi, sahabat Rasul, tentang keteladanan manusia,
tentang keteladanan hewan dan alam liar (dongeng-dongeng), negeri-negeri ajaib, dan
sebagainya. Dari situlah imajinasi mereka terbentuk. Tidak ada gambar-gambar, karena
Mamak tidak bisa membelikan mereka buku cerita. Juga tidak ada televisi. Mereka bisa
melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka.
Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan. Kerja keras. Berdisiplin.
Laisa sejak umur dua belas tahun, terbiasa bangun jam tiga shubuh. Shalat malam bersama
Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil Mamak mengajarkan ritus agama yang indah
kepada mereka. Shalat maiam salah satunya.
"Lais, seandainya kita bisa mengukurnya seperti timbangan beras, shalat malam yang baik
seharga seluruh dunia dan seisinya."
Dengan teladan yang ada di depan mata, maka Yashinta kecil saat usianya menjejak
belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh untuk shalat malam, gadis kecil itu melihat Mamak
dan Kakak-kakaknya, maka otomatis ia ikut. Kebiasaan yang terus ada hingga mereka
tumbuh besar. Saat perkebunan strawberry memberikan janji kehidupan yang lebih baik,
Mamak dan Kak Lais tentu saja tak perlu lagi memasak gula aren selepas shalat malam.
Waktu itulah yang sering digunakan Kak Laisa untuk berdiri di lereng lembah. Menatap
hamparan perkebunan, menghabiskan penghujung malam ditemani Dalimunte Bersyukur atas
kehidupan mereka.

Apakah dengan cerita dan teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan? Belum
tentu. Lihatlah Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu tetap saja nakal tapi pemberontakan
masa kecil mereka memang khas ulah anak kecil yang butuh proses untuk mengerti. Saat
cerita-cerita, teladan, berbagai kejadian itu berhasil memberi sekali saja pengertian, maka
mereka akan berubah. Seperti pagi ini, jika ada Ikanuri, maka yang menjadi imam shalat
bukan Dalimunte. Ikanuri jauh lebih pandai mengaji. Suara dan tartil-nya lebih baik. Meski
dialah yang paling bandel belajar mengaji dulu.
"Pagi ini biar Eyang yang cerita...." Suara Eyang memutus wajah-wajah cemberut Delima
dan Juwita.
Anak-anak menoleh. Eyang tersenyum mendekat. Memperbaiki tudung rambutnya. Naik
ke atas ranjang besar Wak Laisa.
"Horee!" Delima berseru senang. Eyang sama jagonya dengan Wak Laisa kalau bercerita.
Jangan dibandingkan Abi mereka. Tidak seru. Kalau Abi yang cerita, kebanyakan
ngarangnya.
Pagi itu, saat semburat matahari mulai menerabas jendela kamar Kak Laisa yang dibuka
lebar-lebar. Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa
yang terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan cerita. Pagi itu, saat kabut masih mengambang
di atas hamparan merah ranum buah strawberry, Mamak bercerita tentang: bidadari-bidadari
surga. Melanjutkan cerita Laisa ke anak-anak sebulan yang lalu. Andaikata di sini ada
Yashinta, ia akan senang sekali, itu cerita favoritnya waktu kecil.
Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata
bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi
cantik jelita. (Ar Rahman: 70). "Eyang, cantikan mana, bidadari atau Delima?" Delima
menyela. Membuat Kak Laisa tertawa, meski kemudian tersengai. Intan meraih tissue,
membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta dengan pedenya akan menyela Mamak,
"Hm.... Pasti tetap lebih cantik Yash, kan?"
Andaikata ada seorang wanita penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi
ruang antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan
sesungguhnya kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya (Hadits Al
Bukhari).
"Wuih? Keren. Memangnya wangi bidadari itu seperti apa, Eyang?" Delima sibuk menyela
lagi.
"Berisik. Diam saja napa, biar Eyang terus cerita." Intan mendelik galak. Kak Laisa sekali
lagi tertawa kecil. Dulu Yashinta juga suka sekali memotong cerita.
"Bidadari itu kan untuk perempuan? Kalau untuk anak laki nyebutnya apa, Mak?" Dan
biasanya Ikanuri yang kesal cerita Mamak dipotong terus menjawab asal,
"Nyebutnya bidadara.... Bidadara-Bidadara Surgi!"
Tidak dulu. Tidak sekarang. Kanak-kanak selalu memberikan respon yang sama atas
mekanisme ini. Membuat imajinasi mereka terbang, dan tanpa mereka sadari, ada
pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa diselipkan.
Pagi semakin tinggi. Eyang terus bercerita hingga lima belas menit ke depan. Kak Laisa
memejamkan matanya. Ia pagi ini benar-benar merasa lelah. Tiga monster kecil ini
memberikan energi tambahan untuk bertahan lebih dari 48 jam. Tetapi waktunya tinggal
sedikit lagi. Hanya menunggu Yash, adiknya tersayang.
Suara Mamak berkata lembut terngiang di telinganya: bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....
Kak Laisa jatuh tertidur, dengan sungging senyum dan satu kalimat doa: Ya Allah,
jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga....
Sementara ratusan kilometer dari arah barat. Helikopter itu melesat dengan cepat.
Sebelum matahari tenggelam. Sebelum semuanya benar-benar terlambat. Yashinta harus
tiba di perkebunan strawberry.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar